Saturday, June 28, 2025

Tidak Semua Hal Bisa Dipercepat, oleh Darmawan Aji

Tidak Semua Hal Bisa Dipercepat

Seorang sifu memberikan nasihat pada muridnya:

“Berlatihlah 1 jam sehari dan engkau akan menguasai kungfu ini dalam 2 tahun.”

Sang murid bertanya, “Wahai sifu, bagaimana bila aku berlatih 2 jam sehari? Apakah aku akan menguasainya lebih cepat?”

Sang sifu menjawab, “Engkau akan menguasainya dalam 4 tahun.”

“Kalau begitu, bagaimana jika aku berlatih 4 jam sehari?” tanya sang murid kembali.

Sang sifu tersenyum:

“Engkau akan menguasainya dalam 10 tahun…
…muridku, engkau tidak bisa membuat pohon tumbuh lebih cepat. Ikuti prosesnya, berikan ia waktu untuk bertumbuh, dan engkau akan dapat menikmati buahnya pada waktunya nanti.”

Cerita ini terdengar tidak masuk akal. Namun, bagi siapa pun yang pernah menempuh jalan panjang untuk belajar sesuatu dengan serius, jawabannya sebenarnya sangat masuk akal.

Kita hidup di zaman percepatan. Segala hal harus serba instan, efisien, dan hasilnya terlihat. Kita diajari bahwa semua bisa dioptimasi. Bahkan pertumbuhan pribadi pun kini diukur dengan dashboard produktivitas.

Akan tetapi, apakah semua hal harus diukur berdasarkan kecepatan? Adakah hal-hal dalam hidup ini yang justru rusak ketika dipaksa cepat?

Saya teringat saat pertama kali belajar menulis buku. Saya menargetkan agar buku pertama saya selesai dalam waktu kurang dari dua bulan. Saya kumpulkan belasan referensi. Saya berusaha untuk memasukkan semuanya ke dalam buku pertama saya. 

Hasilnya? Buku pertama saya selesai ditulis, diterbitkan, dan laku 6000 eksemplar dalam dua minggu pertama. Karena kualitas? Bukan. Karena judulnya yang menarik. Isinya? Daging tapi alot.

Tulisan saya terstruktur, berbasis referensi, tapi kering. Nggak berjiwa. Persis seperti yang dikatakan Frederic Gros di buku A Philosophy of Walking:

“Buku-buku karya para penulis yang terpenjara dalam ruang kerja mereka, tercangkok ke kursi mereka, biasanya berat dan sulit dicerna. Buku-buku itu lahir dari kompilasi buku-buku lain di atas meja. Mereka seperti angsa yang digemukkan: dijejali nukilan, disesaki rujukan, digayuti anotasi. Mereka berat, terlalu gemuk, membosankan, dan dibaca pelan-pelan, dengan susah payah.”

Baru ketika saya berhenti mengejar kuantitas dan mulai menikmati proses bertumbuh sebagai penulis—menulis, mengendapkan, menulis ulang—saya mulai menemukan “suara” saya sendiri.

Mungkin ini pula yang dimaksud sang sifu. Semakin kita terburu-buru, semakin kita kehilangan ritme dengan waktu belajar yang alami. Kita jadi seperti petani yang menyiram benih setiap jam, berharap esok sudah bisa panen.

Padahal belajar—baik ilmu, keterampilan, atau kebijaksanaan—bukan soal akumulasi jam, tapi soal pengendapan. Kita tidak hanya butuh input, tapi juga jeda agar input itu menyatu dalam diri. Itu sebabnya seseorang yang belajar perlahan dengan refleksi bisa memahami lebih dalam daripada yang belajar cepat tapi buru-buru pindah ke topik lain.

Dalam dunia pembelajaran, ini dikenal sebagai “effortful processing”—pengolahan yang membutuhkan waktu, perhatian, dan kadang rasa frustrasi. 

Ironisnya, kita sering tergoda mempercepat proses bukan karena kita benar-benar mau belajar lebih cepat, tapi karena kita tak nyaman dengan rasa “belum bisa”. Kita ingin segera sampai agar rasa tak nyaman itu hilang.

Tapi di situlah kuncinya: proses belajar bukan untuk cepat sampai, melainkan untuk membentuk siapa diri kita dalam perjalanan itu.

Pertanyaannya: apakah kita siap melewati masa-masa tidak nyaman tanpa kehilangan arah?Jika kamu merasa tertinggal hanya karena progresmu lambat, mungkin kamu hanya sedang belajar dengan ritme yang tepat. Tidak semua hal bisa (atau perlu) dipercepat.
 
Salam hangat,

Darmawan Aji

Disadur dari ajipedia.com, melalui email me@darmawanaji.com

No comments:

Post a Comment